Tuesday, December 1, 2009

HAJAR: Bunda Sang Nabi 3

2: MENJADI SYIFKHAH KELUARGA AZAR



DI luar gerai sahaya tersebut, telah menunggu tujuh orang pria. Wajah mereka menyenangankan,mengenakan jubah panjang serta memegang tongkat gembala. Pemandangan ini sangat berlawanan serta ganjil ditempat tersebut. Ketika Sarah mendekat, Hajar tahu mereka adalah para pengawalnya. Penampilan mereka seperti gembala hanyalah satu penyamaran.

"Mardi," seru Sarah kepada salah seorang dari mereka, seorang pria setengah baya dengan janggut pendek seperti orang Babel. "Ini Hajar."

Sang pria itu melirik sigadis kecil. Sarah dengan cepat berkata, "Dia seorang perawan, dan akan tetap demikian."

Peria itu mengeryit dahinya, tetapi menganggok dengan patuh. Ya, Nyonya," gumamnya.

Sarah, sambil tetap mengandeng Hajar, berjalan paling depan, dan para pengawal mengikutinya dibelakang. Mereka melewati pasar sahaya dengan para tawanan yang berdiri dala gerai gerai, atau lorong lorong, dan ada juga yang berdiri di tempat terbuka. Para sahaya tersebut ada yang sekeluarga, lelaki dewasa, gadis muda, pemuda bahkan bayi. Semuanya tanpa pakaian; semuanya tampak putus asa.

Hajar menarik nafa lega, mensyukuri keberuntungannya.

Setelah mendiami Haran selama empat tahun, Hajar tahu bahawa kota itu paling terkenal kerana pasarnya, termasuk pasar sayur sayuran, barang dagangan dari seluruh penjuru dunia dan pastinya, pasar sahaya. Mereka melewati kuil yarah, yang menandai jalan masuk kedaerah dagang tersebut. Hajar melayangkan pandangannya tanpa rasa sedih pada ziggurat itu, anak tangganya yang gelap menjulang tinggi kelangit biru. Di puncak kuil itu telah ia telah melalui banyak malam bulan purnama, untuk pemujaan dewa bulan.

Sementara mereka berjalan, Sarah bertanya sahaya barunya.

"Ceritakan tentang dirimu. Apakah kau memang dilahirkan sebagai sahaya?"

Hajar menggeleng. "Baru lima tahun terakhir. Sebelumnya keluarga ku adalah orang yang merdeka."

"Bagaimana keluarga kamu sampai menjadi sahaya?"

"Bendang ayahku di Mesir tak berhasil sehingga ia terpaksa mengadai kebebasannya."

"Apakah mereka telah mencerai beraikan keluarga mu?"

"Ya. Mulanya mereka telah menjual ayah, kemudian ibu dengan adik ku yang masih bayi. Kemudian aku."

"Itu pasti menjadi saat saat yang paling sulit bagi keluarga mu."

"Ya, Nyonya. Kami tidak tahu bahawa mereka akan berbuat begitu terhadap kami. Ayah memohon sangat sangat agar kami tidak dipisah pisahkan ketika ia menyetujui untuk menjadi sahaya demi membayar hutang kami. Tapi para pemberi hutang tidak peduli, mereka menjual ayah kepada penawar yang pertama."

"Apakah ayah mu menyerah begitu sahaja?"

"Tidak. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana mereka menyeret ayah pergi dalam keadaan pengsan. Darahnya berjejeran. Aku masih dapat mendengar tangisan dan jeritan ibuku."
sarah menghela nafas. "Dan kemudian mereka membawa ibumu?"
"Ya, dengan adiku ku yang masih bayi. Mereka mengatakan ibuku akan di jadikan ibu susu."
"Oh ya, mereka akan mendapat wang yang banyak kerana itu."
Seketika kemudian mreka melewati serangkaian rumah tinggal yang dibuat dari lumpur dengan atap yang meruncing serta dapurnya berada diluar rumah. Mereka berjalan menyelusuri tepian sungai Balikh, serta melewati beberapa pasar. Hajar telah pernah melihat semuanya. Ia hampir hampir tidak melirik aneka dagangan berupa pakaian, buah buahan, alatan perhiasan, senjata senjata serta rempah ratus yang harum baunya seolah olah berasal dari tempat yang jauh dan tidak di ketahui.
Sarah menunggu sehingga mereka melewati satu kerumunan orang ramai sebelum melanjutkan pertanyaannya. "Jadi, kau adalah satu satunya anggota keluarga mu yang tertinggal ditempat penjualan sahaya. Apa yang telah mereka lakukan kepada mu?"
"Aku telah dibeli oleh seorang pedagang sahaya dam membawa ku pergi dari Mesir. Leih kurang setahun kemudian ia telah menjualku di sini, di kota Haran."
"Pasti itu adalah tahun yang sangat menakutkan kamu."
"Benar Nyonya. Aku terus menerus menangis disepanjang tahun itu."
Sarah berkata dengan lembut. "Sekarang kau terlihat begitu ceria. Bagaimana kau dapat pulih dari pengalaman yang menakutkan itu?"
"Seorang sahaya lain membantuku. Katanya aku akan mati kerana sedih atau aku dapat melupakan segala kejadian itu dan terus hidup. Pilihan ada ditangan ku. Aku memutus kan untuk tetap hidup."
"Kau membuat keputusan itu ketika masih berusia empat tahun?" Sarah menatap sahayanya dengan mata terbelalak.
"Lima tahun Nyonya. Antara umur empat dan lima tahun, aku menjadi dewasa."
"Ya, aku percaya katamu. tidak menghairankan kau lebi dewasa dari usiamu. Baiklah, sekarang ceritakan kepadaku tentang majikanmu yang terakhir. Apakah dia baik kepadamu?"
"Ya, sangat baik. Dia seorang saudagar di Haran. Dia membeliku untuk putranya yang seusia denganku. Aku akan dinikahkan dengannya apabila puteranya cukup dewasa."
"Tapi kenapa dia......"
"Kira kira sebulan lalu, anaknya jatuh sakit. Dia diserang demam teruk sehingga meninggal. Majikanku tidak memerlukan aku jadi dia memutuskan untuk menjualku."
"Oh, begitu." Sarah melangkah dalam diam disisi sahaya barunya.
Hanya tekanan lembut sekali kali pada tangannya yang memberi petunjuk kepada Hajar tentang apa yang sedang difikirkan oleh majikan barunya. Mereka terus berjalan sehingga merka sampai di sekumpulan khemah berwarna hitam.
"Ini rumah barumu, Hajar." Sarah memerintahkan para pengawalnya bubar dengan sebuah anggukan kepala serta menghampiri khemah terbesar di perkhemahan tersebut. "Kita tidak boleh berisik.Aazar mungkin sedang tidur."
Hajar gementar dan tidak sabar. Dia akan segera bertemu dengan keluarga barunya, Aazar siketua kaum,salah seorang lelaki terkaya di Pada-Aram, Ibrahim putranya, suami Nyonyanya. Dan siapa lagi?
Mereka baru saja memasuki khemah tersebut, ketika seorang pemuda keluar dari situ. Ia bertubuh tinggi, rambutnya yang coklat dan ikal membingkai wajahnya yang licin tanpa janggut. Hajar menduga usianya kira kira empat atau lima tahun lebih tua darinya. Sepasang matanya yang tanpa malu mengamati Hajar dari atas kebawah. Untuk sejenak ia merasa tidak selesa dengan kejadian itu.
"Wah!" Pemuda itu berseru, bibirnya yang tipis menyeringai. "Babu baru Makcik Sarah. Cantik sekali."
"Ini anak saudaraku, Lut," Kata Sarah. "Lut, ini syifkhah baru ku, Hajar."
Ia tampaknya menekan kata 'syifkhah' tersebut.Kata itu bererti 'sahaya perempuan pembantu peribadi'. Ini menunjukkan suatu kedudukan yang istemewa. Hajar merasa senang kerana ia tidak di sebut babu, kata yang umum di gunakan untuk sahaya perempuan biasa. Mungkin juga penekanan pada kata tersebut sebagai peringatan kepada Lut. Namun, mengapa harus ada peringatan? Hajar melirik Lut. Wajahnya yang tampan membersit seringai menantang.
"Ah, Makcik Sarah, Makcik tak perlu berkata begitu. Makcik tau, aku tak akan......"
Mengapa kau tak menggembala ternakanmu?" Tegur Sarah.
"Aku datang menziarahi datuk." Pemuda itu menjawab. Pakcik Ibrahim mengatakan keadaan datuk sedang tenat."
"Dimana Pakcikmu, Ibrahim?"
"Ada di sana." Lut memalingkan kepalanyakesebuah khemah disamping khemah besar itu dan kemudian memandang seraya menyeringai nakal kepada Hajar. "Hingga bertemu lagi,Syifkhah."
Gaya bicaranya seolah mengejek kwika mengucapkan kata it. Hajar tidak menyukainya dania akan berusaha sedapat mungkin menghindari pemuda itu.
Sementara pemuda itu melangkah pergi, Sarah mengikuti dengan pandangan matanya sambil menggrleng gelengkan kepalanya. "Ayahnya sudah meninggal dan sekarang ia tinggal dengan kami. Aku harap Ibrahim tidak akan membawanya serta kalau kami pindah nanti. Tapi ku fikir kami harus."
"Pindah?" Hajar merasa cukup percaya kepada nyonya barunya sehingga ia berani menajukan sebuah pertanyaan. "Mengapa kalian akan pindah?"
Sarah menatap wajah Hajar tepat. "Abraham telah menerima wahyu dari Allah agar kami segera berpindah kesebuah negeri yang baru. Aku tidak tau mengapa. Tanah disini sama suburnya dengan tanah ditempat lain serta keluarga kami telah selesa disini. Tapi ini adalah perintah Allah yang tidak bisa kami ingkari."
Ia melambaikan tangan kearah kumpulan khemah dan rumah beratap kerucut. Tampak jelas keluarga Aazar hidup dikhemah khemah dan juga dirumah rumah. Hajar berfikir bahawa membangun khemah adalah wajar, tetapi mengapa pula harus mendirikan bangunan yang lebih kekal dari tanah liat dan batu bata? Apakah sebahagian diantara mereka bermaksud berpindah, dan sebahagian lainnya akan tetap kekal tinggal di Haran? Kalau begitu berapa ramai orang yang akan berpindah?
Namun, dia harus menunggu untuk bertanya. Sarah telah menanggalkan sandalmya. Ia membimbing Hajar masuk kedalam khemah tersebut.
Khemah besar ini dihiasi dengan pelbagai perabutan. Karpet yang diinjak oleh kaki Hajar uang telanjang sangat lembut dan nyaman. Peti peti serta meja meja, hiasan dinding dan lampu gantung mengelilinginya dengan penataan yang teratur. Tercium pula bau dupa yang dibakar. Harum sekali, namu begitu sesekali tercium juga bau obat obatan.
Di tengah tengah khemah terbaring sang ketua kaummyang telah tua, kepalanya disangga setumpukan bantal. Jubah lenannya yang polos tidak menutupi sepasang kakinya yang kurus kering. Rambut dan janggutnya telah putih, namun wajahnya yang cengkung tidak terlalu berkeriput. Sepasang matanya yang jernih dibawah sepasang alis matanya yang putih mengamati kedua pengunjungnya.
"Ayah," ujar Sarah lembut. "Ini adalah syifkhak baruku. Namanya Hajar. Dia berasal dari Mesir."
Lelaki itu mengangguk. "Kesinilah, nak." Hajar melutut disisinya. Selama empat tahun terakhir masa masa perhambaannya,ia mengurus ayah tuannya yang tua renta sampai saat meninggalnya. Ia tahu sedikit sebanyak bagaimana merawat orang yang telah mendekati ajal.
"Bagaimana aku dapat melayanimu, Datuk."












2 comments:

appzak said...

yop, kau ni Shiah ke yop?

appzak said...

Yeop, aku dah jawab soalan kau kat blog aku. Aku tak sedar pun kau ada tulis komen kat blog aku. Ada masa kjau balas lah.